Saturday, May 19, 2012

Masihkah Bawang Merah Mensejahterakan Petani...???


Suatu usaha atau bisnis dapat menghasilkan keuntungan apabila harga jual hasil produksi (output) lebih besar daripada biaya produksi (input). Dalam usaha budidaya bawang merah, banyak sekali komponen biaya input, diantaranya yaitu: bibit,sewa tanah, tenaga kerja, pupuk dan obat-obatan. Komponen-komponen biaya ini besarnya bervariasi tergantung kondisi dan musimnya. Misalnya, jika serangan hama dan penyakit sedang tinggi, maka biaya untuk pembelanjaan obat-obatan untuk mengendalikan serangan hama dan penyakit tersebut akan meningkat. Apabila penanaman dilakukan pada musim kering, dimana suply air diambil dari sumur, tentu hal ini akan menambah biaya untuk pembelian bahan bakar diesel. Dari Tahun ke Tahun, modal untuk budidaya bawang merah terus meningkat, karena komponen biaya produksi terus naik. Sementara, harga jual panen bawang merah sangat fluktuatif. Harga suatu komoditas pertanian, khususnya sayur-sayuran, sangat tergantung dari supply and demand sesuai Hukum Ekonomi dimana jika suply melimpah sedangkan demand tetap, maka harga akan cenderung menurun, dan sebaliknya. Pada saat panen raya dimana suply suatu komoditas meningkat maka harga cenderung akan menurun. Namun, untuk komoditas bawang merah, sebenarnya produksi bawang merah lokal sudah mencukupi untuk kebutuhan konsumsi dalam negeri. Apabila harga bawang merah rendah, disinyalir karena adanya bawang merah impor yang masuk ke wilayah Negara Indonesia.
Kondisi “per-bawang-an” Brebes sudah lama dalam keterpurukan, petani “menjerit” melakukan aksi demo   menuntut agar impor bawang merah dihentikan. Namun, aksi tersebut sepertinya kurang membuahkan hasil yang signifikan. Kondisi “per-bawang-an” masih tetap dimana harga komoditas ini masih rendah bahkan tidak laku dijual. Hasil panen banyak yang menumpuk di tempat penyimpanan, padahal komoditas ini sifatnya perishable (tidak dapat disimpan lama), sehingga banyak yang membusuk tidak dapat digunakan untuk bibit. Akibat dari kondisi semacam ini, pada musim tanam bawang merah tahun ini (setelah panen padi pada Bulan Februari-Maret 2012), jumlah areal  tanaman bawang merah berkurang daripada tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan para petani sudah kehabisan modal dan persediaan bibit yang sedikit. Para petani beralih menanam komoditas lain yang biaya produksinya lebih sedikit seperti tanaman kacang-kacangan.
Setiap komoditas pertanian memiliki “harga patokan” yang berbeda-beda, yaitu harga jual minimal, dimana kalau harga jual lebih rendah dari harga patokan tersebut maka petani mengalami kerugian. Harga patokan untuk Bawang merah berkisar Rp 7.000/kg, untuk komoditas sayur-sayuran, misalnya kentang =Rp 3.500/Kg, terong= Rp 700/Kg. Harga jual panen tidak dapat dikendalikan oleh petani, bahkan pemerintah pun tidak sanggup untuk melakukan intervensi misalnya dengan melarang bawang merah impor dari luar negeri masuk ke wilayah Negara Indonesia, karena hal ini terkait dengan perdagangan bebas atau mungkin juga karena ulah para oknum yang hanya mementingkan keuntungan bisnisnya sendiri.
Untuk itu perlu ada terobosan-terobosan yang inovatif dari para petani untuk melakukan perubahan dalam teknologi budidaya yang se-efisien mungkin supaya menghasilkan produktivitas yang lebih baik. Jadi kata kuncinya dan yang menjadi Pekerjaan Rumah adalah PRODUKTIVITAS.
Produktivitas pertanian di Indonesia secara umum kalah dengan Negara lain bahkan dengan sesama Negara berkembang. Bila cara-cara lama tetap dilakukan, maka usaha budidaya bawang merah tidak menguntungkan lagi dan akan ditinggalkan oleh petani.