Laman

Wednesday, June 15, 2011

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1992


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 1992
TENTANG
SISTEM BUDIDAYA TANAMAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa sumberdaya alam nabati yang jenisnya beraneka ragam dan
mempunyai peranan penting bagi kehidupan adalah karunia Tuhan Yang
Maha Esa; oleh karena itu perlu dikelola dan dimanfaatkan secari
lestari, selaras, serasi, dan seimbang bagi sebesar-besar kemakmuran
rakyat;
b. bahwa sistem pembangunan yang berketanjutan dan berwawasan
lingkungan perlu ditumbuhkembangkan dalam pembangunan pertanian
secara menyeluruh dan terpadu;
c. bahwa pertanian maju, efisien, dan tangguh mempunyai peranan yang
penting dalam pencapaian tujuan pembangunan nasional, yaitu
terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945;
d. bahwa sistem budidaya tanaman yang merupakan bagian dari pertanian
perlu dikembangkan sejalan dengan peningkatan kualitas sumberdaya
manusia untuk mewujudkan pertanian maju, efisien, dan tangguh;
e. bahwa peraturan perundang-undangan yang saat ini masih berlaku, baik
yang merupakan produk hukum warisan pemerintah kolonial maupun
produk hukum nasional, sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
hukum dan kepentingan nasional sehingga perlu dicabut;
f. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas dipandang perlu
menetapkan ketentuan tentang sistem budidaya tanaman dalam suatu
Undang-undang;

Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar
1945;
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2043);
3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara
Nornor 2823);
4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di
Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3037);
5. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran Negara
Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3046);
6. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
7. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati Dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3419);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG SISTEM BUDIDAYA TANAMAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Sistem budidaya tanaman adalah sistem pengembangan dan pemanfaatan
sumberdaya alam nabati melalui upaya manusia yang dengan modal,
teknologi, dan sumberdaya lainnya menghasilkan barang guna memenuhi
kebutuhan manusia secara lebih baik;
2. Plasma nutfah adalah substansi yang terdapat dalam kelompok makhluk
hidup, dan merupakan sumber sifat keturunan yang dapat dimanfaatkan dan
dikembangkan atau dirakit untuk menciptakan jenis unggul atau kultivar
baru;
3. Pemuliaan tanaman adalah rangkaian kegiatan untuk mempertahankan
kemurnian jenis dan/atau varietas yang sudah ada atau menghasilkan jenis
dan/atau varietas baru yang lebih baik;
4. Benih tanaman yang selanjutnya disebut benih, adalah tanaman atau
bagiannya yang digunakan untuk memperbanyak dan/atau mengembangbiakkan
tanaman;
5. Varietas adalah bagian dari suatu jenis yang ditandai oleh bentuk
tanaman, pertumbuhan, daun, bunga, buah, biji, dan sifat-sifat lain yang
dapat dibedakan dalam jenis yang sama;
6. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat benih tanaman setelah
melalui pemeriksaan, pengujian, dan pengawasan serta memenuhi semua
persyaratan untuk diedarkan;
7. Perlindungan tanaman adalah segala upaya untuk mencegah kerugian pada
budidaya tanaman yang diakibatkan oleh organisme pengganggu tumbuhan;
8. Organisme pengganggu tumbuhan adalah semua organisme yang dapat merusak,
mengganggu kehidupan, atau menyebabkan kematian tumbuhan;
9. Eradikasi adalah tindakan pemusnahan terhadap tanaman, organisme
pengganggu tumbuhan, dan benda lain yang menyebabkan tersebarnya
organisme pengganggu tumbuhan di lokasi tertentu;
 10. Pupuk adalah bahan kimia atau organisms yang berperan dalam penyediaan
unsur hara bagi keperluan tanaman secara langsung atau tidak langsung;
11. Pestisida adalah zat atau senyawa kimia, zat pengatur dan perangsang
tumbuh, bahan lain, serta organisme renik, atau virus yang digunakan
untuk melakukan perlindungan tanaman.
Pasal 2
Sistem budidaya tanaman sebagai bagian pertanian berasaskan manfaat,
lestari, dan berkelanjutan.
Pasal 3
Sistem budidaya tanaman bertujuan: a.meningkatkan dan memperluas
penganekaragaman hasil tanaman, guna memenuhi kebutuhan pangan, sandang,
papan, kesehatan, industri dalam negeri, dan memperbesar ekspor;
b.meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani; c.mendorong perluasan dan
pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja.
Pasal 4
Ruang lingkup sistem budidaya tanaman meliputi proses kegiatan produksi
sampai dengan pascapanen.
BAB II
PERENCANAAN BUDIDAYA TANAMAN
Pasal 5
1. Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pemerintah:
a. menyusun rencana pengembangan budidaya tanaman sesuai dengan tahapan
rencana pembangunan nasional;
b. menetapkan wilayah pengembangan budidaya tanaman;
c. mengatur produksi budidaya tanaman tertentu berdasarkan kepentingan
nasional;
d. menciptakan kondisi yang menunjang peranserta masyarakat.
2. Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Pemerintah memperhatikan kepentingan masyarakat.
Pasal 6
1. Petani memiliki kebebasan untuk menentukaii pilihan jenis tanaman dan
perribudidayaannya.
2. Dalam menerapkan kebebasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), petani
berkewajiban berperanserta dalam mewujudkan rencana pengembangan dan
produksi budidaya tanaman, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
3. Apabila pilihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak dapat
terwujud karena ketentuan Pemerintah, maka Pemerintah berkewajiban untuk
mengupayakan agar petani yang bersangkutan memperoleh jaminan
penghasilan tertentu.
4. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB III
PENYELENGGARAAN BUDIDAYA TANAMAN
Bagian Kesatu
Pembukaan dan Pengolahan Lahan, dan Penggunaan Media Tumbuh Tanaman
Pasal 7
1. Setiap orang atau badan hukum yang membuka dan mengolah lahan dalam
luasan tertentu untuk keperluan budidaya tanaman wajib mengikuti tata
cara yang dapat mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup.
2. Setiap orang atau badan hukum yang menggunakan media tumbuh tanaman
untuk keperluan budidaya tanaman wajib mengikuti tata cara yang dapat
mencegah timbulnya pencemaran lingkungan.
3. Ketentuan mengenai tata cara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)dan ayat
(2), diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.
Bagian Kedua Perbenihan
Pasal 8
Perolehan benih bermutu untuk pengembangan budidaya tanaman dilakukan
melalui kegiatan penemuan varietas unggul dan/atau introduksi dari luar
negeri.
Pasal 9
1. Penemuan varietas unggul dilakukan melalui kegiatan pemuliaan tanaman.
2. Pencarian dan pengumpulan plasma nutfah dalam rangka pemuliaan tanaman
dilakukan oleh Pemerintah.
3. Kegiatan pencarian dan pengumpulan plasma nutfah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), dapat dilakukan oleh perorangan atau badan hukum
berdasarkan izin.
4. Pemerintah melakukan pelestarian plasma nutfah bersama masyarakat.
5. Ketentuan mengenai tata cara pencarian, pengumpulan, dan pelestarian
plasma nutfah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 10
1. Introduksi dari luar negeri dilakukan dalam bentuk benih atau materi
induk untuk pemuliaan tanaman.
2. Introduksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan oleh
Pemerintah dan dapat pula dilakukan oleh perorangan atau badan hukum.
3. Ketentuan, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
Setiap orang atau badan hukum dapat melakukan pemuliaan tanaman untuk
menemukan varietas unggul.
Pasal 12
1. Varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri sebelum
diedarkan terlebih dahulu dilepas oleh Pemerintah.
2. Varietas hasil pemuliaan atau introduksi yang belum dilepas sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dilarang diedarkan.
3. Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelepasan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 13
1. Benih dari varietas unggul yang telah dilepas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (1), merupakan benih bina.
2. Benih bina yang akan diedarkan harus melalui sertifikasi dan memenuhi
standar mutu yang ditetapkan oleh Pemerintah.
3. Benih bina yang lulus sertifikasi apabila akan diedarkan wajib diberi
label.
4. Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara sertifikasi dan pelabelan
benih bina diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.
Pasal 14
1. Sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), dilakukan oleh
Pemerintah dan dapat pula dilakukan oleh perorangan atau badan hukum
berdasarkan izin.
2. Ketentuan mengenai persyaratan dan perizinan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.
Pasal 15
Pemerintah melakukan pengawasan terhadap pengadaan dan peredaran benih
bina.
Pasal 16
Pemerintah dapat melarang pengadaan, peredaran, dan penanaman benih tanaman
tertentu yang merugikan masyarakat, budidaya tanaman, sumberdaya alam
lainnya, dan/atau lingkungan hidup.
Bagian Ketiga
Pengeluaran dan Pemasukan Tumbuhan dan Benih Tanaman
Pasal 17
1. Pemerintah menetapkan jenis tumbuhan yang pengeluaran dari dan/atau
pemasukannya ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia memerlukan izin.
2. Pengeluaran benih dari atau pemasukannya ke dalam wilayah negara
Republik Indonesia wajib mendapatkan izin.
3. Pemasukan benih dari luar negeri harus memenuhi standar mutu benih bina.
Bagian Keempat
Penanaman
Pasal 18
1. Penanaman mcrupakan kegiatan menanamkan benih pada petanaman yang berupa
lahan atau media tumbuh tanaman.
2. Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditujukan untuk memperoleh
tanaman dengan pertumbuhan optimal guna mencapai produktivitas yang
tinggi.
3. Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), penanaman
harus dilakukan dengan tepat pola tanam, tepat benih, tepat cara, tepat
sarana, dan tepat waktu pada petanaman siap tanam.
4. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), dapat diatur lebih lanjut
oteh Pemerintah.
 Bagian Kelima
Pemanfaatan Air
Pasal 19
1. Pemerintah mengatur dan membina pemanfaatan air untuk budidaya tanaman.
2. Pemanfaatan air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Keenam
Perlindungan Tanaman
Pasal 20
1. Perlindungan tanaman dilaksanakan dengan sistem pengendalian hama
terpadu.
2. Pelaksanaan perlindungan tanaman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
menjadi tanggung jawab masyarakat dan Pemerintah.
Pasal 21
Perlindungan tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dilakanakan
melalui kegiatan berupa :
a. pencegahan masuknya organisme pengganggu tumbuhan ke dalam dan
tersebarnya dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara
Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
b. pengendalian organisme pengganggu tumbuhan;
c. eradikasi organisme pengganggu tumbuhan.
Pasal 22
1. Dalam pelaksanaan perlindungan tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21, setiap orang atau badan hukum dilarang menggunakan sarana dan/atau
cara yang dapat mengganggu kesehatan dan/atau mengancam keselamatan
manusia, menimbulkan gangguan dan kerusakan sumberdaya alam dan/atau
lingkungan hidup.
2. Ketentuan mengenai penggunaan sarana dan/atau cara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.
Pasal 23
Setiap media pembawa organisme pengganggu tumbuhan yang dimasukkan ke
dalam, dibawa atau dikirim dari suatu area ke area lain di dalam, dan
dikeluarkan dari wilayah Negara Republik Indonesia dikenakan tindakan
karantina tumbuhan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 24
1. Setiap orang atau badan hukum yang memiliki atau menguasai tanaman harus
melaporkan adanya serangan organisme pengganggu tumbuhan pada tanamannya
kepada pejabat yang berwenang dan yang bersangkutan harus
mengendalikannya.
2. Apabila serangan organisme pengganggu tumbuhan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), merupakan eksplosi, Pemerintah bertanggung jawab
menanggulanginya bersama masyarakat.
Pasal 25
1. Pemerintah dapat melakukan atau memerintahkan dilakukannya eradikasi
terhadap tanaman dan/atau benda lain yang menyebabkan tersebarnya
organisme pengganggu tumbuhan.
2. Eradikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan apabila
organisme pengganggu tumbuhan tersebut dianggap sangat berbahaya dan
mengancam keselamatan tanaman secara meluas.
Pasal 26
1. Kepada pemilik yang tanaman dan/atau benda lainnya dimusnahkan dalam
rangka eradikasi dapat diberikan kompensasi.
2. Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diberikan hanya atas
tanaman dan/atau benda lainnya yang tidak terserang organisms pengganggu
tumbuhan tetapi harus dimusnahkan dalam rangka eradikasi.
Pasal 27
Ketentuan mengenai pengendalian dan eradikasi organisme pengganggu tumbuhan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 butir b dan butir c serta ketentuan
mengenai kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketujuh
Pemeliharaan Tanaman
Pasal 28
1. Pemeliharaan tanaman diarahkan untuk:
a. menciptakan kondisi pertumbuhan dan produktivitas tanaman yang
optimal;
b. menjaga kelestarian lingkungan;
c. mencegah timbulnya kerugian pihak lain dan atau kepentingan umum.
2. Dalam pemeliharaan tanaman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), setiap
orang atau badan hukum dilarang menggunakan sarana dan/atau cara yang
mengganggu kesehatan dan/atau mengancam keselamatan manusia, menimbulkan
gangguan dan kerusakan sumberdaya alam dan/atau lingkungan hidup.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), diatur lebih lanjut oleh
Pemerintah.
Bagian Kedelapan
Panen
Pasal 29
1. Panen merupakan kegiatan pemungutan hasil budidaya tanaman.
2. Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditujukan untuk memperoleh
hasil yang optimal dengan menekan kehilangan dan kerusakan hasil serta
menjamin terpenuhinya standar mutu.
3. Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), panen harus
dilakukan tepat waktu, tepat keadaan, tepat cara, dan tepat sarana.
4. Dalam pelaksanaan panen sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), harus
dicegah timbulnya kerugian bagi masyarakat dan/atau kerusakan sumberdaya
alam dan/atau lingkungan hidup.
Pasal 30
1. Pemerintah dan masyarakat berkewajiban untuk mewujudkan tujuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2).
2. Pemerintah wajib berupaya untuk meringankan beban petani kecil berlahan
sempit yang budidaya tanamannya gagal panen karena bencana alam.
3. Pemerintah dapat menetapkan pengaturan mengenai panen budidaya tanaman
tertentu.
Bagian Kesembilan
Pascapanen
Pasal 31
1. Pascapanen meliputi kegiatan pembersihan, pengupasan, sortasi,
pengawetan, pengemasan, penyimpanan, standardisasi mutu, dan
transportasi hasil produksi budidaya tanaman.
2. Kegiatan pascapanen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditujukan untuk
meningkatkan mutu, menekan tingkat kehilangan dan/atau kerusakan,
memperpanjang daya simpan, dan meningkatkan daya guna serta nilai tambah
hasil budidaya tanaman.
Pasal 32
1. Terhadap hasil budidaya tanaman yang dipasarkan diterapkan standar mutu.
2. Pemerintah menetapkan jenis hasil budidaya tanaman yang harus memenuhi
standar mutu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (3)Pemerintah
mengawasi mutu hasil budidaya tanaman sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1).
Pasal 33
Ketentuan mengenai pascapanen dan standar mutu hasil budidaya tanaman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32, diatur lebih lanjut oleh
Pemerintah.
Pasal 34
1. Pemerintah menetapkan standar unit pengolahan, alat transportasi, dan
unit penyimpanan hasil. budidaya tanaman.
2. Pemerintah melakukan akreditasi atas kelayakan unit pengolahan, alat
transportasi, dan unit penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
3. Pemerintah melakukan pengawasan terhadap unit pengolahan, alat
transportasi, dan unit penyimpanan hasil budidaya tanaman, sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 35
Pemerintah menetapkan tata cara pcngawasan atas mutu unit pengolahan, alat
transportasi, dan unit penyimpanan hasil budidaya tanaman.
Pasal 36
1. Pemerintah menetapkan harga dasar hasil budidaya tanaman tertentu.
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut oleh
Pemerintah.
BAB IV
SARANA PRODUKSI
Bagian Kesatu
Pupuk
Pasal 37
1. Pupuk yang beredar di dalam wilayah negara Republik Indonesia wajib
memenuhi standar mutu dan terjamin efektivitasnya serta diberi label.
2. Pemerintah menetapkan standar mutu pupuk serta jenis pupuk yang boleh
diimpor.
3. Pemerintah mengawasi pengadaan dan peredaran pupuk.
4. Ketentuan mengenai tata cara pengawasan, pengadaan dan peredaran pupuk
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pestisida
Pasal 38
1. Pestisida yang akan diedarkan di dalam wilayah negara Republik Indonesia
wajib terdaftar, memenuhi standar mutu, terjamin efektivitasnya, aman
bagi manusia dan lingkungan hidup, serta diberi label.
2. Pemerintah menetapkan standar mutu pestisida sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), dan jenis pestisida yang boleh diimpor.
Pasal 39
Pemerintah melakukan pendaftaran dan mengawasi pengadaan, peredaran, serta
penggunaan pestisida.
Pasal 40
Pemerintah dapat melarang atau membatasi peredaran dan/atau penggunaan
pestisida tertentu.
Pasal 41
Setiap orang atau badan hukum yang menguasai pestisida yang dilarang
peredarannya atau yang tidak memenuhi standar mutu atau rusak atau tidak
terdaflar wajib memusnahkannya.
Pasal 42
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, dan
Pasal 41, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Alat dan Mesin
Pasal 43
1. Pemerintah menetapkan jenis dan standar alat dan mesin budidaya tanaman
yang produksi serta peredarannya perlu diawasi.
2. Alat dan mesin budidaya tanaman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
diuji terlebih dahulu sebelum diedarkan.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
TATA RUANG DAN TATA GUNA TANAH BUDIDAYA TANAMAN
Pasal 44
1. Pemanfaatan lahan untuk keperluan budidaya tanaman disesuaikan dengan
ketentuan tata ruang dan tata guna tanah berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan
dengan memperhatikan kesesuaian dan kemampuan lahan maupun pelestarian
lingkungan hidup khususnya konservasi tanah.
Pasal 45
Perubahan rencana tata ruang yang mengakibatkan perubahan peruntukan
budidaya tanaman guna keperluan lain dilakukan dengan memperhatikan rencana
produksi budidaya tanaman secara nasional.
Pasal 46
1. Pemerintah menetapkan luas maksimum lahan untuk unit usaha budidaya
tanaman yang dilakukan di atas tanah yang dikuasai oleh Negara.
Setiap pcrubahan jenis tanaman pada unit usaha budidaya tanaman di atas
tanah yang dikuasai oleh negara harus memperoleh persetujuan Pemerintah.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan ayat (2), diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
PENGUSAHAAN
Pasal 47
1. Usaha budidaya tanaman hanya dapat dilakukan oleh perorangan warga
negara Indonesia atau badan usaha yang berbentuk badan hukum yang
didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
2. Badan usaha yang berbentuk badan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), dapat berupa:
a. Koperasi; atau
b. b.Badan Usaha Milik Negara termasuk Badan Usaha Milik Daerah; atau
c. Perusahaan swasta.
3. Badan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), diarahkan untuk bekerja
sama secara terpadu dengan masyarakat petani dalam melakukan usaha
budidaya tanaman.
4. Pemerintah dapat menugaskan badan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2), untuk pengembangan kerja sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
Pasal 48
1. Perorangan warga negara Indonesia atau badan hukum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 47 ayat (1), yang melakukan usaha budidaya tanaman tertentu
di atas skala tertentu wajib memiliki izin.
2. Pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus memperhatikan
aspek ekonomi, sosial, budaya, sumberdaya alam, lingkungan hidup, dan
kepentingan strategis lainnya.
3. Badan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diarahkan untuk
mengembangkan keterpaduan kegiatan budidaya tanaman dengan industri dan
pemasaran produknya.
Pasal 49
Pemerintah membina usaha lemah serta mendorong dan membina terciptanya
kerja sama yang serasi dan saling menguntungkan antara pengusaha lemah dan
pengusaha kuat di bidang budidaya tanaman.
Pasal 50
1. Setiap orang atau badan hukum yang dalam melakukan budidaya tanaman
memanfaatkan jasa atau sarana yang disediakan oleh Pemerintah dapat
dikenakan pungutan,
2. Petani kecil berlahan sempit yang melakukan kegiatan budidaya tanaman
hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tidak dikenakan
pungutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 51
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, dan
Pasal 50, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII
PEMBINAAN DAN PERANSERTA MASYARAKAT
Pasal 52
1. Pemerintah melaksanakan pembinaan budidaya tanaman dalam bentuk
pengaturan, pemberian bimbingan, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan
budidaya tanaman.
2. Pembinaan budidaya tanaman diarahkan untuk meningkatkan produksi, mutu,
dan nilai tambah hasil budidaya tanaman serta efisiensi penggunaan lahan
dan sarana produksi.
3. Pembinaan sebagaimana dimaksud data ayat (2), didasarkan pada pemenuhan
kebutuhan dalam negeri, keunggulan komparatif, dan permintaan pasar
komoditi budidaya tanaman yang bersangkutan.
4. Ketentuan mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2) dan ayat (3), diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.
Pasal 53
Pemerintah mendorong dan mengarahkan peranserta organisasi profesi terkait
dalam pembinaan budidaya tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat
(1).
Pasal 54
1. Pemerintah menyelenggarakan penelitian di bidang budidaya tanaman yang
diarahkan bagi kepentingan masyarakat.
2. Pemerintah membina dan mendorong masyarakat untuk melakukan kegiatan
penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 55
1. kepada penemu teknologi tepat serta penemu teori dan metode ilmiah baru
di bidang budidaya tanaman dapat diberikan penghargaan oleh Pemerintah.
2. Kepada penemu jenis baru dan/atau varietas unggul, dapat diberikan
penghargaan oleh Pemerintah serta mempunyai hak memberi nama pada
temuannya.
3. Setiap orang atau badan hukum yang tanamannya memiliki keunggulan
tertentu dapat diberikan penghargaan oleh Pemerintah.
4. Ketentuan mengenai pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2) dan ayat (3), diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.
Pasal 56
1. Pemerintah menyelenggarakan pengembangan sumberdaya manusia di bidang
budidaya tanaman melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan serta
mendorong dan membina masyarakat untuk melakukan kegiatan tersebut.
2. Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan ayat (2), diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 57
1. Pemerintah menyelenggarakan penyuluhan budidaya tanaman serta mendorong
dan membina peranserta masyarakat untuk melakukan kegiatan penyuluhan
dimaksud.
2. Pemerintah berkewajiban memberikan pelayanan informasi yang mendukung
pengembangan budidaya tanaman serta mendorong dan membina peranserta
masyarakat dalam pemberian pelayanan tersebut.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat diatur lebih lanjut
oleh Pemerintah.
BAB VIII
PENYERAHAN URUSAN DAN TUGAS PEMBANTUAN
Pasal 58
1. Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan di bidang budidaya tanaman
kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
2. Pemerintah dapat menugaskan kepada Pemerintah Daerah untuk melaksanakan
tugas pembantuan di bidang budidaya tanaman.
3. Ketentuan penyerahan sebagian urusan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX
PENYIDIKAN
Pasal 59
1. Selain penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia, juga pejabat
pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya di bidang budidaya tanaman, dapat diberi
wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undangundang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan
penyidikan dalam tindak pidana di bidang budidaya tanaman.
2. Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berwenang untuk:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan
berkenaan dengan tindak pidana di bidang budidaya tanaman;
b. melakukan pemanggilan terhadap seseorang untuk didengar dan
diperiksa sebagai tersangka atau sebagai saksi dalam tindak pidana
di bidang budidaya tanaman;
c. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana di
bidang budidaya tanaman;
d. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan sehubungan
dengan tindak pidana di bidang budidaya tanaman,
e. membuat dan menandatangani berita acara;
f. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang
adanya tindak pidana di bidang budidaya tanaman.
3. Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberitahukan dimulainya
penyidikan dan melaporkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum
melalui penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia sesuai dengan
ketentuan Pasal 107 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana.
BAB X
KETENTUAN PIDANA
Pasal 60
1. Barangsiapa dengan sengaja:
a. mencari dan mengumpulkan plasma nutfah tidak berdasarkan izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3);
b. mengedarkan hasil pemuliaan atau introduksi yang belum dilepas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2);
c. mengedarkan benih bina yang tidak sesuai dengan label sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3);
d. mengeluarkan benih dari atau memasukkan ke dalam wilayah Negara
Republik Indonesia tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (2);
e. menggunakan cara dan/atau sarana perlindungan tanaman yang
mengganggu kesehatan dan mengancam keselamatan manusia atau
menimbulkan kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (1),
f. mengedarkan pupuk yang tidak sesuai dengan label sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1),
g. mengedarkan pestisida yang tidak terdaftar atau tidak sesuai dengan
label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1);
h. tidak memusnahkan pestisida yang dilarang peredarannya, tidak
memenuhi standar mutu, rusak atau tidak terdaftar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41;
i. melanggar kelentuan pelaksanaan Pasal 16; dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.
250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah).
2. Barang siapa karena kelalaiannya :
a. mencari dan mengumpulkan plasma nutfah tidak berdasarkan izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3);
b. mengedarkan hasil pemuliaan atau introduksi yang belum dilepas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2);
c. mengedarkan benih bina yang tidak sesuai dengan label sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3);
d. mengeluarkan benih dari atau memasukkan ke dalam wilayah negara
Republik Indonesia tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (2);
e. menggunakan cara dan/atau sarana perlindungan tanaman yang
mengganggu kesehatan dan mengancam keselamatan manusia atau
menimbulkan kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (1);
f. mengedarkan pupuk yang tidak sesuai dengan label sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1);
g. mengedarkan pestisida yang tidak terdaftar atau tidak sesuai dengan
label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1);
h. tidak memusnahkan pestisida yang dilarang peredarannya, tidak
memenuhi standar mutu, rusak atau tidak terdaftar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41;
i. melanggar ketentuan pelaksanaan Pasal 16; dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 12 (dua belas) bulan atau denda paling banyak
Rp. 50.000.000,- (limapuluh juta rupiah).
Pasal 61
1. Barangsiapa dengan sengaja:
a. tidak mengikuti tata cara pembukaan dan pengolahan lahan atau
penggunaan media tumbuh tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7;
b. melakukan sertifikasi tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (1);
c. dalam memelihara tanaman menggunakan sarana dan/atau cara yang
mengganggu kesehatan dan mengancam keselamatan manusia, menimbulkan
gangguan dan kerusakan sumberdaya Alam, dan atau lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud dalam asal 28 ayat (2);
d. melakukan usaha budidaya tanaman tanpa izin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 48 ayat (1);
e. melanggar ketentuan pelaksanaan Pasal 40; dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).
2. Barangsiapa karena kelalaiannya :
a. tidak mengikuti tata cara pembukaan dan pengolahan lahan atau
penggunaan media tumbuh tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7;
b. melakukan sertifikisi tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (1),
c. dalam memelihara tanaman menggunakan sarana dan/atau cara yang
mengganggu kesehatan dan mengancam keselamatan manusia, menimbulkan
gangguan dan kerusakan sumberdaya alam, dan atau lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2);
d. melakukan usaha budidaya tanaman tanpa izin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 48 ayat (1);
e. melanggar ketentuan pelaksanaan Pasal 40; dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 12 (dua belas) bulan atau denda paling banyak
Rp 50.000.000,- (limapuluh juta rupiah).
Pasal 62
1. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1), dan Pasal 61
ayat (1), adalah kejahatan.
2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2), dan Pasal 61
ayat (2), adalah pelanggaran.
Pasal 63
Tumbuhan dan/atau sarana budidaya tanaman yang diperoleh dan/atau digunakan
untuk melakukan tindak pidana yang dimaksud dalam Undang-undang ini dapat
dirampas.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 64
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, semua peraturan perundangundangan
di bidang budidaya tanaman yang tidak bertentangan dengan Undangundang
ini tetap berlaku selama belum ditetapkan penggantinya berdasarkan
Undang-undang ini.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 65
Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka :
1. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1961 tentang Pengeluaran dan Pemasukan
Tanaman dan Bibit Tanaman (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 9, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2147);
2. Ketentuan yang mengatur tentang budidaya tanaman yang tercantum dalam :
a. Ordonansi tentang Krisis Teh (Crisis Thee Ordonnantie, Staatsblad
1933 No. 203);
b. Ordonansi tentang Krisis Kina (Crisis Kina Ordonnantie, Staatsblad
1933 No. 204);
c. Ordonansi tentang Krisis Kopi dan Kakao (Crisis Koffie en Cacao
Ordonnantie, Staatsblad 1933 No. 205);
d. Ordonansi tentang Pertanaman Kina (Kinaaanplant Ordonnantie,
Staatsblad 1934 No. 70);
e. Ordonansi tentang Pengeluaran Karet Perkebunan (Ondernemings Rubberuitvoer
Ordonnantie, Staatsblad 1934 No. 342);
f. Ordonansi tentang Pengeluaran Karet Rakyat (Bevolkings Rubberuitvoer
Ordonnantie, Staatsblad 1934 No. 343);
g. Ordonansi tentang Pertanaman Karet (Rubberaanplant Ordonnantie,
Staatsblad 1934 No. 346);
h. Ordonansi tentang Kepentingan-kepentingan Kapok (Kapok-belangen
Ordonnantie, Staatsblad 1935 No. 165);
i. Ordonansi tentang Pertanaman Teh (Thee-aanplant Ordonnantie,
Staatsblad 1936 No. 119);
j. Ordonansi tentang Krosok (Krosok Ordonnantie, Staatsblad 1937 No.
604); dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 66
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 30 April 1992
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 April 1992
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd

MOERDIONO

No comments:

Post a Comment

Bagaimana Pendapat Anda...??????