Masihkah Bawang Merah Mensejahterakan Petani...???
Suatu usaha atau bisnis dapat menghasilkan keuntungan
apabila harga jual hasil produksi (output) lebih besar daripada biaya produksi (input). Dalam usaha
budidaya bawang merah, banyak sekali komponen biaya input, diantaranya yaitu:
bibit,sewa tanah, tenaga kerja, pupuk dan obat-obatan. Komponen-komponen biaya
ini besarnya bervariasi tergantung kondisi dan musimnya. Misalnya, jika
serangan hama dan penyakit sedang tinggi, maka biaya untuk pembelanjaan obat-obatan
untuk mengendalikan serangan hama dan penyakit tersebut akan meningkat. Apabila
penanaman dilakukan pada musim kering, dimana suply air diambil dari sumur,
tentu hal ini akan menambah biaya untuk pembelian bahan bakar diesel. Dari
Tahun ke Tahun, modal untuk budidaya bawang merah terus meningkat, karena
komponen biaya produksi terus naik. Sementara, harga jual panen bawang merah
sangat fluktuatif. Harga suatu komoditas pertanian, khususnya sayur-sayuran,
sangat tergantung dari supply and demand
sesuai Hukum Ekonomi dimana jika suply
melimpah sedangkan demand tetap, maka
harga akan cenderung menurun, dan sebaliknya. Pada saat panen raya dimana suply suatu komoditas meningkat maka
harga cenderung akan menurun. Namun, untuk komoditas bawang merah, sebenarnya
produksi bawang merah lokal sudah mencukupi untuk kebutuhan konsumsi dalam
negeri. Apabila harga bawang merah rendah, disinyalir karena adanya bawang
merah impor yang masuk ke wilayah Negara Indonesia.
Kondisi “per-bawang-an” Brebes sudah lama dalam
keterpurukan, petani “menjerit” melakukan aksi demo menuntut
agar impor bawang merah dihentikan. Namun, aksi tersebut sepertinya kurang
membuahkan hasil yang signifikan. Kondisi “per-bawang-an” masih tetap dimana
harga komoditas ini masih rendah bahkan tidak laku dijual. Hasil panen banyak
yang menumpuk di tempat penyimpanan, padahal komoditas ini sifatnya perishable (tidak dapat disimpan lama),
sehingga banyak yang membusuk tidak dapat digunakan untuk bibit. Akibat dari
kondisi semacam ini, pada musim tanam bawang merah tahun ini (setelah panen
padi pada Bulan Februari-Maret 2012), jumlah areal tanaman bawang merah berkurang daripada tahun
sebelumnya. Hal ini dikarenakan para petani sudah kehabisan modal dan persediaan
bibit yang sedikit. Para petani beralih menanam komoditas lain yang biaya
produksinya lebih sedikit seperti tanaman kacang-kacangan.
Setiap komoditas pertanian memiliki “harga patokan” yang
berbeda-beda, yaitu harga jual minimal, dimana kalau harga jual lebih rendah
dari harga patokan tersebut maka petani mengalami kerugian. Harga patokan untuk
Bawang merah berkisar Rp 7.000/kg, untuk komoditas sayur-sayuran, misalnya
kentang =Rp 3.500/Kg, terong= Rp 700/Kg. Harga jual panen tidak dapat
dikendalikan oleh petani, bahkan pemerintah pun tidak sanggup untuk melakukan intervensi misalnya dengan melarang
bawang merah impor dari luar negeri masuk ke wilayah Negara Indonesia, karena
hal ini terkait dengan perdagangan bebas atau mungkin juga karena ulah para
oknum yang hanya mementingkan keuntungan bisnisnya sendiri.
Untuk itu perlu ada terobosan-terobosan yang inovatif dari
para petani untuk melakukan perubahan dalam teknologi budidaya yang se-efisien
mungkin supaya menghasilkan produktivitas yang lebih baik. Jadi kata kuncinya dan
yang menjadi Pekerjaan Rumah adalah PRODUKTIVITAS.
Produktivitas pertanian di Indonesia secara umum kalah
dengan Negara lain bahkan dengan sesama Negara berkembang. Bila cara-cara lama
tetap dilakukan, maka usaha budidaya bawang merah tidak menguntungkan lagi dan
akan ditinggalkan oleh petani.